Beratnya menjadi orangtua

Img

Orangtua mengajar di sekolah paling berat di dunia—Sekolah untuk orang. Anda adalah dewan pendidik, kepala sekolah, penjaga dan pembersih gedung sekaligus… dan tidak ada ketentuan umum dalam kurikulumnya. Anda bertugas, atau setidak-tidaknya siap dipanggil, 24 jam sehari, 365 hari setahun, selama sedikitnya 18 tahun untuk setiap anak yang Anda punyai.    - Virginia Satir,  The New Peoplemaking

Saya mengawali tulisan ini dengan mencuplik tulisan di atas yang termaktub dalam buku 1… 2… 3… Sayang Semuanya karangan Nancy Samalin & Chatherine Whitney, penerbit Kaifa edisi Maret 2003. Cuplikan di atas terasa pas dengan penggambaran beratnya menjadi orang tua. Betapa tidak? Menjadi orang tua bukanlah sebuah pilihan tapi amanah yang harus diemban setiap pasangan yang dikaruniai keturunan atau pun mereka yang mengangkat anak/ bawaan pasangan baik suami muapun istri. Maka tidak ada alasan bagi seseorang untuk menolak amanah ini meskipun itu adalah pekerjaan terberat di dunia.

Akhir-akhir ini kita kerap memperoleh informasi dari media tentang berbagai kekerasan yang terjadi pada anak yang pelakunya adalah orang tuanya sendiri. Faktanya kejadian seperti ini bukanlah yang pertama, dulu kita juga pernah tahu kejadian serupa menimpa Ari Hanggara yang kasusnya sangat mengejutkan di era 80-an. Kekerasan kepada anak sejatinya selalu ada dan menjadi fenomena gunung es, dimana yang terlihat tidak sebanyak kejadian yang sesungguhnya. Kasus terakhir yang terdekat dengan kita di Provinsi Kepulauan Riau yaitu Rizky yang dianiaya oleh ayah bundanya sendiri adalah bagai dejavu bagi kasus-kasus sebelumnya. Bagaimana mungkin orang tua yang seharusnya menyayangi dan melindungi anaknya justeru melakukan hal yang sebaliknya?

Tentu saja kita tidak akan membenarkan apa pun alasan keduanya berbuat seperti itu. Bahkan untuk tujuan mendidik sekalipun karena kekerasan hanya akan menciptakan episode yang sama di lain kesempatan, kita harus memutus mata rantai kekerasan tersebut. Namun, jika kita melihat situasi secara jernih dan obyektif kita akan sampai kepada kesimpulan bahwa menjadi orangtua tidaklah mudah. Agar seorang atlet dapat menjadi olah ragawan berprestasi mereka akan mengikuti proses Training Center (TC) diluar latihan reguler yang biasa mereka lakukan. Begitu juga dalam menciptakan seorang dokter atau pilot yang handal ada sekolah khusus yang harus diikuti sebelum jam terbang/ praktek akhirnya menjadi syarat utamanya. Bagaimana dengan menjadi orang tua? Adakah sekolah atau lembaga kursus untuk menciptakan orang tua yang efektif?

Mungkin ada konseling pranikah dan semacamnya namun jika dilihat dari “SKS” nya pasti tidaklah mencukupi dibanding tantangan yang harus orangtua hadapi saat mengasuh anak-anak mereka. Tentu saja solusinya memang tidak perlu ada sekolah khusus untuk itu. Kuncinya adalah kesiapan pasangan untuk menjadi orang tua namun itu pun harus didukung tindakan nyata orang tua untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya bagaimana menjadi orang tua yang efektif dalam mengembangkan pola asuh. Tugas guru, konselor, ulama/pendeta, dan pemerintah adalah menyediakan akses informasi seluas-luasnya bagi orang tua untuk dapat menerapkan pola asuh yang paling efektif bagi anak-anak mereka. Tanpa kesadaran seperti itu maka banyak orang tua yang tersesat saat “mengekspresikan” kasih sayangnya kepada buah hati mereka.

Selain minimnya pendidikan bagi orangtua ada hal lain yang menyebabkan menjadi orang tua yang baik itu terasa berat. Apakah itu? Jawabannya adalah realita kehidupan itu sendiri. Coba Anda bayangkan bagaimana kehidupan sebagian besar orangtua saat ini. Apalagi bagi keluarga yang suami dan istri sama-sama bekerja kerumitannya semakin bertambah. Pagi dan malam menjadi waktu yang sangat melelahkan untuk mengurus anak yaitu sebelum dan sesudah mereka lelah bekerja seharian. Belum lagi jika anak sakit atau ada masalah lainnya sehingga orangtua tidak bisa berlama-lama meninggalkan anak-anaknya. Begitu banyak tekanan yang dialami orangtua baik karena masalah pekerjaan, ekonomi & finansial, maupun masalah keluarga termasuk dengan pasangannya.

Tekanan hidup seperti tergambar di atas rentan membuat orangtua teralihkan fokusnya dalam menjalankan perannya dalam mengasuh anak-anaknya. Sesekali “control” mereka lepas dan hal itu termanifestasi dalam kata-kata maupun tindakan mereka. Manusiawi, namun tetap harus ada kesadaran untuk memperbaikinya setiap hal tersebut terjadi. Sangat perlu bagi orangtua untuk belajar manajemen stres agar dapat mengelola stres atau tekanan yang timbul dari realitas hidup sehari-hari.

Nancy Samalin dan Chaterine Whitney membagikan kiat kepada orang tua untuk melepaskan stres, yaitu; pertama, mulailah dengan mengatakan ,”Tidak bersalah”. Karena rasa bersalah adalah penghalang nomor satu bagi pengasuhan yang efektif. Anda tidak mungkin percaya diri dan dapat membantu anak-anak Anda mengembangkan harga diri mereka jika anak-anak melihat Anda menyesali diri. Tidak ada orangtua yang sempurna.
Kedua, menyetarakan pengasuhan. Pengasuhan adalah tanggung jawab kedua orangtua, tidak ada yang memiliki tanggung jawab lebih dalam pengasuhan. Jangan pernah berpikir ibulah yang paling bertanggung jawab dalam pengasuhan meskipun memang surga berada di telapak kaki ibu. Ini peting untuk memunculkan kesetaraan kewajiban dalam pengasuhan.

Ketiga, jadilah orangtua mereka, bukan kawan mereka. Terimalah kenyataan bahwa anak-anak Anda tidak akan gembira dengan semua aturan dan batasan yang Anda tetapkan untuk mereka. Bersikaplah tegas bukan kasar untuk mengajarkan bahwa meskipun kita adalah makhluk bebas namun tetap dibatasi oleh kebebasan yang dimiliki orang lain.

Keempat, sederhanakan jika memungkinkan. Maksudnya buatlah segalanya efisien korbankanlah untuk sementara waktu hal-hal yang dapat menghambat efektivitas Anda dalam pengasuhan. Setting lah rumah Anda seminimal mungkin dan biarkan mereka melakukan eksplorasi diri sepanjang tidak membahayakan diri mereka dan orang lain.

Kelima, Mulailah hari dengan gembira. Jadikanlah awal hari kita dengan canda dan tawa meskipun situasinya setara dengan pertempuran di medan perang…Anda pernah nonton film Life is Beautiful? Belajarlah dari tokoh utama di dalam film tersebut untuk menciptakan hidup yang indah setiap saat meskipun dalam kamp konsentrasi. Putarlah music yang menggugah semangat atau mulailah dengan joget caesar sebelum mengawali aktivitas harian kita. Intinya bergembiralah menyambut hari ini!

Keenam, Janganlah meributkan hal sepele. Buatlah hidup ini simpel dan jauhi sebisa mungkin keruwetan apalagi karena hal-hal yang tidak prinsipil. Hidup memang tidak pernah sempurna biarkan hal tersebut terjadi pada hal-hal sepele yang terkadang jika kita cermati dapat memunculkan sense of humor pada diri kita karena kekonyolan yang ditimbulkannya.

Ketujuh, Tetapkan waktu istirahat. Ajarkan kepada anak-anak Anda bahwa setiap orang butuh istirahat dan saat utuk memulihkan tenaga kembali. Jika ini dapat diwujudkan maka akan berdampak sangat positif pada suasana hati seluruh anggota keluarga.

Apabila kita dapat mengelola stress dan melakukan pola asuh yang efektif maka kebahagiaan yang menjadi tujuan kita akan menjadi buah yang manis dan tidak tergantikan. Bahkan jika kita berada dalam kondisi flow saat melakukan pengasuhan maka bukan hasil itu sendiri yang penting namun orangtua akan merasa bahagia menjalani segala kerepotan dalam pengasuhan…ia merasa “nikmat” saat bangun malam karena tangis anaknya, atau saat mengganti popok anaknya, bahkan pada saat-saat krisis lainnya.

Karena menurut Mihaly Csikszentmihalyi kenikmatan yang sesungguhnya berasal dari tahap-tahap yang ditempuh orang menuju tujuan, bukan dari keberhasilan mencapai tujuan. Kebahagiaan tidak muncul begitu saja dalam diri kita. Kebahagiaa adalah sesuatu yang kita ciptakan…selamat menjadi orangtua karena Anda beruntung memiliki mereka saat ini…Bismillah…***

Oleh: Riko Jayasaputra M.Psi, Psikolog
Sumber Batam pos http://batampos.co.id/2014/01/14/beratnya-menjadi-orangtua/